Archive for October 2009

Kisah Penjual Kerupuk Mie


.



Pakde dan Bude Gono, begitu kami biasa memanggil mereka. Sepasang suami istri renta penghuni rumah di ujung gang sempit ini. Sebenarnya tak layak disebut rumah, hanya ruangan dari papan berukuran 3 x 4 meter, berpenerangan sebuah bohlam 10 watt, yang disewa seharga dua ratus ribu rupiah perbulan. Sebuah tempat tidur dengan kasur tipis, dan lemari untuk menyimpan baju dan peralatan dapur, itulah furniture yang ada dirumah itu. Kompor, ember, dan alat memasak disimpan dikolong tempat tidur. Untuk keperluan mandi dan hajat, mereka menggunakan MCK umum. Dengan membeli air pam seratus rupiah per ember, mereka bisa mandi, masak air, cuci baju, dan keperluan lainnya untuk mereka berdua. Hanya berdua, sebab Allah tidak mengaruniakan keturunan pada mereka.

Pakde Gono adalah seorang penjual kerupuk mie. Beliau berkeliling dari gang ke gang membawa pikulan yang terdiri dari sepanci sambal kacang dan seplastik besar kerupuk mie. Dengan uang seribu lima ratus, kita bisa menikmati dua buah kerupuk mie dengan sambal sesuka hati. Kalo Pakde Gono berjualan di sekolah-sekolah, maka dia harus menyesuaikan harga dengan kantong anak sekolahan, yaitu lima ratus rupiah untuk sebuah kerupuk. Tapi beliau tidak bisa selalu stand by di sekolah, sebab akan diusir oleh pihak keamanan sekolah, atau oleh pemilik kantin sekolah. Bisa dihitung kira-kira berapa penghasilan beliau. Untuk dapat duit sebesar sepuluh ribu rupiah, Pakde Gono harus menjual kurang lebih 20 kerupuk mie, dan itu bukan hal yang mudah. Berjualan di antara gang-gang sempit, rumah yang berhimpitan, daya beli masyarakatnya sangat rendah dan begitu banyak orang yang berprofesi serupa.

Ba'da Subuh, dibantu sang isteri, Pakde Gono menggelar kerupuk-kerupuknya di lapangan bulu tangkis depan musholla. Kerupuk itu harus dijemur dulu agar bisa mengembang saat digoreng. Sementara sang isteri menyiapkan sambal kacang. Hari-hari belakangan ini, kerut-kerut di wajah Pakde Gono bertambah. Pasalnya, hujan sering mengguyur pada pagi hari. Beliau tidak bisa menjemur kerupuknya. Seperti pagi tadi, ku perhatikan dari pintu rumahku, Pakde membawa kerupuk-kerupuknya ke lapangan. "Mendung, Pakde. Pasti sebentar lagi hujan." Sapaku. "Ndak papa, yang penting kena angin." Sahutnya. Dan benar saja, kurang dari 15 menit kemudian, hujan turun. Bergegas, Pakde dibantu isteri dan bapakku, yang kebetulan sedang ada di lapangan, menyelamatkan kerupuk-kerupuk itu.

Banyak sikap yang sangat aku kagumi dari sepasang suami isteri renta itu. Walaupun pemahaman agama mereka sangat terbatas, namun mereka adalah jamaah tetap mushollah kecil kami. Lima waktu selalu mereka kerjakan di mushollah itu. Yah, mungkin karena tak ada sisa ruangan di dalam rumah yang layak untuk menghadap Ar-Rahman. Selain itu, harga diri mereka sangat luar biasa. Sebagai tetangga dekat, ibuku selalu berusaha mengirimi sedikit makanan atau apapun untuk mereka. Dan wadah makanan tak pernah kembali dalam keadaan kosong. Selalu terisi, apapun yang mereka miliki. Gula, beras, kacang, kerupuk, mie, ubi, singkong, pisang, atau apapun selalu mereka sertakan saat mengembalikan wadah makanan. Sudah ribuan kali ibuku berusaha menolak, tapi saat melihat wajah sedih Bude Gono, maka ibuku tak mampu menampik pemberiannya. "Tolong, jangan ditolak." Lirihnya. Maka, kami pun menerimanya. Selalu begitu.

Masih banyak yang bisa dikisahkan tentang mereka, yang mungkin dianggap biasa-biasa saja, namun bagiku, yang baru belajar menumbuhkan empati terhadap sesama, menjadi luar biasa. Seperti ketika Pakde bercerita pada pagi hari tahun baru, Januari 2008.

Malam menjelang tahun baru, beliau berjualan ke PRJ karena tahu kalau lokasi itu akan sangat ramai. Dan benar, dalam sekejap dagangannya habis. Namun duit tak dapat, karena orang-orang yang sedang dalam euforia itu lupa atau sengaja tak mau bayar. Apalah daya seorang lelaki tua di tengah hiruk pikuk pesta kembang api malam pergantian tahun.

Pakde hanya tersenyum. "Sing sabar dan ikhlas", katanya pada diri sendiri.

Dalam segala keterbatasan mereka, mereka menampilkan aplikasi nyata dari hadist Nabi, "Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah." Dalam segala keterbatasan mereka, tak mau harga diri mereka jatuh dengan hanya menerima tanpa memberi. Dalam segala keterbatasan mereka, ku temukan hidup yang penuh keikhlasan, syukur, sabar dan pantang mengeluh. Dalam segala keterbatasan mereka, begitu banyak pelajaran hidup ku dapat.

(Menembus Batas Logika by Muhammad Arifin Ilham)