Archive for February 2009

3 Centimeter Yang Menyiksa


.

Namaku Ferdy Anggoro. Diusiaku yang ke 28 tahun, aku terhitung sebagai lajang yang sukses. Memiliki karier yang mapan sebagai Public Relation sebuah Club ternama di Jakarta. Karier mapan, materi berlimpah, penampilan fisik yang nyaris sempurna, setidaknya begitulah yang selalu dikatakan oleh hampir sebagian orang yang mengenalku.

Memiliki karier sebagai Public Relation sebuah Club ternama, tinggal disebuah apartement dikawasan elite Kemang, punya mobil sport keluaran terbaru, body prima yang selalu di olah di Gym ternama daerah Semanggi, dengan perawatan kulit Dokter pribadi, hampir mendekati sempurna hidupku ini.

Tapi Tuhan memang Maha Adil. Di setiap kelebihan yang dimilki umat-Nya, selalu saja ada kekurangan. Dan aku, sampai detik ini, belum sekalipun cinta menghinggapi diriku. Mustahil memang jika dengan segala yang aku punya, tak ada satu lawan jenis pun yang mengisi hatiku. Banyak sekali wanita yang mencoba mendekatiku, dan hampir semuanya merupakan wanita idaman para lelaki. Tapi entah kenapa, aku tak pernah bisa mencoba menjalin hubungan dengan wanita-wanita itu.

Ada yang salah dengan diriku. Ya, aku sadar betul akan hal itu. Aku betul-betul tak sanggup melawan hal tersebut. Aku juga tak tahu bagaimana aku bisa mengatasi permasalahan itu..

Tracy, 25 tahun, terlahir dari Ibu yang berdarah Yogya dan Ayah yang asli Brazil. Sebagai wanita, Tracy benar-benar luar biasa! Aku baru mengenalnya beberapa hari yang lalu, saat aku sedang mengembalikan video yang aku rental ketempat penyewaan video. Ternyata, Tracy sudah menunggu film yang aku pinjam itu. Disitu akupun memberanikan diri mengenalnya. Luar biasa, bukan hanya wajah dan kulitnya yang lembut. Tapi suara dan tutur katanya, mengalahkan lembutnya kapas atau salju.

Entah kenapa, setelah pertemuan itu aku jadi sering memikirkannya. Banyak alasan pun aku ucapkan, hanya untuk sekedar mengajaknya makan siang atau nonton film terbaru. Ada getar-getar tak tertahankan di dada, setiap aku berada disampingnya. Apakah ini yang dinamakan cinta??

Semakin hari, semakin sering bertemu dengan Tracy, rasa di hati ini semakin tak terbendung lagi. Tracy pun tanpa perlu aku mengucapkan kata-kata keramat cinta, dia sudah mengetahui isi hatiku yang sebenarnya. Ada respon positif yang aku dapat darinya. Sampai akhirnya, Tracylah yang memiliki inisiatif untuk membicarakan hal ini secara serius.

"Sepertinya kita harus mulai memikirkan langkah kedepan dari hubungan kita Fer. Karena, nggak mungkin juga kalo kita cuma seneng-seneng aja kayak ABG!", ucap Tracy.

"Betul juga, tapi aku belum siap!", ujarku.

"Apa lagi yang membuat kamu belum siap? Apa kamu masih ragu denganku?", tanyanya.

"Bukan itu. Justru aku masih ragu dengan diriku!", jelasku.

"Ragu kenapa?", tanya Tracy.

"Aku ragu, apakah aku bisa berkata jujur padamu tentang kondisiku yang sebenarnya", kataku.

"Kamu ngomong apa sih? Jujur apaan? Jangan bilang kalo kamu Gay!", Tracy jadi terlihat kesal.

Aku pikir, sekarang saatnya aku menyelesaikan masalah dengan diriku ini. Aku harus jujur pada gadis yang aku cintai ini.

"Jujur, seumur hidup aku belum pernah pacaran. Kamu tahu itu kan? Tapi kamu nggak tahu kenapa aku bisa seperti itu. Aku hanya merasa takut, takut jika wanita yang aku cintai akan lari meninggalkanku jika dia tahu, bahwa waktu aku kecil 'burungku' terpotong lebih tiga centimeter pada saat disunat!!!"

***

Indonesian Headline News!


.

Kalo seandainya dilempar pertanyaan, kira-kira berita apa yang pas untuk menjadi Headline berita nasional saat ini?
Apakah tentang demo anarkis yang membuat Ketua DPRD Sumatera Utara terbunuh?
Atau tentang Maluku yang kembali membara dengan kerusuhannya?
Tentang adanya lagi kasus praja IPDN yang meninggal?
Tentang kasus Marcella Zalianty, atau tentang banjir yang merendam hampir semua daerah di Indonesia?

Kalo gw, gak akan milih berita-berita tadi. Ada berita laen yang menurut gw lebih pantas untuk dijadiin Headline supaya diketahui masyarakat luas, terlebih pemerintah yang berkompeten dalam masalah ini.
Masalah penggusuran! Ini selalu mengetuk hati nurani gw. Entah itu penggusuran rumah atau kios-kios pedagang kaki lima. Hati nurani, itu musti tetep dipake gw rasa. Jangan asal gusur, asal hancurin tanpa perikemanusiaan. Gw setiap ngeliat berita penggusuran, najis banget ngeliat tingkah Satpol-PP!!
Udah kayak orang hebat aja mereka. Maen hancurin, maen rusak, kadang-kadang juga maen pukul orang! Sama-sama gak punya hati dan otak, persis kayak atasan mereka yang udah menginstruksikan penggusuran itu!

Gw tau, semua penggusuran itu punya tujuan yang baik. Ada yang untuk mengembalikan fungsi daerah resapan, daerah terbuka hijau, atau untuk mengurangi penyebab-penyebab banjir.
Tapi apa gak ada sedikitpun pemikiran di otak para pemimpin yang hebat itu, bagaimana nasib mereka kemudian??
Kemana mereka musti berteduh, setelah rumah mereka digusur?
Bagaimana cara mereka mencari makan, setelah modal usaha mereka dihancurkan?

Terpikir gak seh hal-hal kayak gitu di otak pemimpin yang pastinya ada di kepala, bukan di dengkul atau pantat??
Yang bisa mereka lakukan cuma menyingkirkan penyebab-penyeba permasalahan. Tapi mereka gak mikir kalo ternyata ada efek yang menimbulkan permasalah baru dari penggusuran itu, bukan untuk pemerintah, tapi untuk mereka yang sudah menjadi korban penggusuran itu sendiri.

Kadang-kadang gw berpikir, kayaknya gak perlu deh yang namanya pemerintah. Pemerintah tuh apa seh, gak ada keberpihakan sama sekali ke rakyat miskin. Padahal yang lebih membutuhkan ya kaum miskin ini..Pemerintah, cape deh!!!

Sweetest Thing....


.

Lelah sekali aku hari ini. Ritunitas sehari-hari yang meskipun sudah aku lakukan setiap hari, tapi tetap saja selalu melelahkan bagiku. Seperti biasa, aku sampai dirumah tepat disaat kedua orang tuaku siap untuk rutinitas makan malam bersama. Usai makan malam dengan kedua orang tuaku, aku langsung menuju kamarku, membersihkan badanku, dan bersiap untuk istirahat. Tidak untuk langsung tidur, sekedar hanya untuk meregangkan badan sambil menghubungkan laptop kesayanganku dengan dunia maya.

Email, blog, dan beberapa profilku dalam situs pertemanan aku buka satu persatu. Aku tak menyangka kalau aku cukup populer didunia maya. Terbukti banyak sekali email dan pesan yang masuk dalam personal inbox milikku. Tak ada yang menarik dari setiap pesan yang aku terima setiap harinya. Rata-rata hanya mengungkapkan betapa mereka mengagumi wajahku, bentuk tubuhku, memuji setiap detil lekuk diriku. Hal yang aku pandang cukup wajar karena hanya itu yang mereka tahu tentang diriku, hanya tampilan fisikku yang bisa mereka lihat dari setiap foto yang aku upload dalam semua situs pertemanan itu.

Tak ada syndrom popularitas yang menghampiri diriku. Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan semua sanjungan itu. Tampilan fisikku yang mereka pandang nyaris sempurna, kehidupan pribadiku yang tergolong sukses, membuat semua orang yang mengenalku tak sungkan untuk memujiku.

Namaku Jonathan Budiharjo Smith, usiaku 27 tahun. Aku anak tunggal dari perkawinan campur antara mamaku yang keturunan Jawa tulen, dengan papaku yang berdarah Inggris. Dilahirkan di kampung halaman papaku di Inggris, ternyata tak cukup membuatku lebih mencintai Tanah Britania Raya. Mungkin karena aku jauh lebih mengenal Jakarta sejak usiaku tujuh bulan. Papaku lebih mencintai kehidupannya di Jakarta, itu yang akhirnya membuat kedua orang tuaku memutuskan untuk kembalik ke Jakarta diusiaku yang belum genap satu tahun, setelah mereka sempat menetap selama tiga tahun disana.

Papaku sukses sebagai pengusaha konstruksi, bekerjasama dengan sahabat kuliahnya yang asli Kebumen, Jawa Tengah. Mamaku, beliau seorang dokter yang memimpin klinik khusus wanita di Bilangan Jakarta Selatan. Klinik yang dibangun oleh Papaku, sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang kesepuluh. Meskipun kedua orang tuaku sukses dan cukup padat dengan aktivitas karir mereka masing-masing, itu tak membuatku kekurangan kasih sayang mereka. Orang tuaku rupanya sadar betul bahwa mereka harus tetap memberikan kasih sayang mereka padaku, terlebih aku merupakan anak mereka satu-satunya. Tapi limpahan kasih sayang dan materi itu tak membuatku menjadi manja. Banyak hal yang sangat bermanfaat bagi hidupku yang telah mereka ajarkan padaku.

Aku, diusiaku yang ke dua puluh tujuh ini, aku telah berhasil menyelesaikan program pendidikanku hingga jenjang S3. Suatu prestasi yang mungkin tidak semua orang bisa wujudkan pada usia sepertiku saat ini. Tapi aku menilai itu semua sebagai hal yang tidak terlalu luar biasa. Semua gelar aku raih dalam waktu singkat, semata-mata hanya karena rasa tanggung jawab pada kedua orang tuaku yang telah jauh-jauh hari mempersiapkan dana untuk biaya pendidikanku.

Saat ini aku bisa dibilang sukses dalam memimpin Firma Hukum dan Perusahaan Advertising yang aku dirikan dari hasil tabunganku selama ini. Terkadang aku merasa sangat beruntung, hidup dengan banyak limpahan materi, tapi hal itu tak membuatku menjadi konsumtif dan boros. Tak heran, uang yang sejak kecil selalu aku dapatkan dari kedua orang tuaku dan keluarga besarku ternyata bisa terkumpul dalam jumlah yang luar biasa dalam rekening pribadiku.

Aku memang sangat beruntung! Bukan bermaksud untuk sombong, tapi aku juga tak bisa bersikap sangat tidak bersyukur dengan mengatakan bahwa hidupku biasa-biasa saja. Semua serba mudah bagiku. Kehidupanku nyaris sempurna, begitupun orang lain memandang fisik diriku. Perkawinan campuran membuatku memiliki wajah, kulit, penampilan fisik yang diidam-idamkan setiap orang. Tapi itu ternyata tak mempermudah kehidupan cintaku. Bukannya aku tak laku, aku sudah menjalin cinta dengan beberapa wanita. Hanya saja, tiga tahun belakangan ini aku memutuskan untuk menikmati kesendirianku. Sebetulnya aku hanya merasa bingung, banyak wanita yang pernah menjadi kekasihku. Tapi aku tak merasakan apa yang namanya cinta. Semuanya datar, hanya ketertarikan sesaat. Tak ada satupun dari mereka yang bisa membuatku berdebar-debar kencang saat berada disisinya. Tak ada yang bisa membuatku menangis saat aku merasakan rindu yang menggebu. Semuanya terasa datar....

***

"Beep, beep, beep, beep,...", aku dibangunkan oleh alarm jamku.

Pukul 05.30 aku bangun hari ini. Agak sedikit telat dari kebiasaanku bangun jam lima pagi. Aku memang sengaja menyetel alarmku 30 menit lebih siang dari biasanya, karena sabtu ini aku tak memiliki jadwal yang cukup berarti. Setelah menyelesaikan ibadah sholat subuhku, aku bersiap untuk jogging keliling komplek rumahku pagi ini. Aku pasang earphone, dan memutar lagu-lagu kesukaanku yang aku simpan dalam Blackberryku.

"Blings.....", nada sms ponselku berbunyi.

Satu sms diterima, satu sms notifikasi bahwa aku mendapatkan satu pesan dalam salah satu profilku disalah satu situs. Aku pikir nanti saja aku baca sesampainya aku dirumah, karena aku benar-benar sedang menikmati udara pagi ini yang segar.

"Nathan, sarapannya udah siap. Kita makan dulu yuk?", suara mama memanggilku dari dalam rumah ketika aku sedang bermain-main dengan Samson, kucing Bengalku, sepulang jogging.

"Waaaah, nasi uduknya mantap banget Ma!", ujarku sambil mencium pipi kedua orang tuaku yang sudah siap dimeja makan.

"Mama beli atau bikin nasi uduknya?", tanyaku.

"Udah, nggak usah banyak tanya. Yang penting enak kan?"

Mama memang The Best Mom In The World buatku. Beliau tahu betul bagaimana membuat suami dan anaknya bahagia setiap detiknya.

***

To : Jonathan
Subject : Hi!

Message:
Jika cinta hadir untuk memberikan bahagia, kenapa selalu saja ada yang menangis dan tersakiti karena cinta?

Apa ini? Aku sedikit tak mengerti. Satu pesan dari Profil tanpa foto dan identitas diri yang lengkap, bernama Gundala. Sudah seperti tokoh superhero masa kecil saja. Meskipun penuh dengan tanda tanya, aku tetap mencoba membalas pesan itu.

To : Gundala
Subject : Re:Hi!

Message:
Tak ada jawab dari tanya tentang cinta. Karena aku tak tahu apakah cinta itu sebenarnya.

Regards

-Nathan-

***

Sudah seminggu sejak aku menerima dan membalas pesan dari Gundala. Tapi sampai detik ini, tak ada balasan satupun darinya. Mungkin dia tak berkenan dengan jawabanku tempo hari. Atau dia sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu dari yang lain, yang mungkin juga dia kirimi pesan.

Kenapa aku jadi berharap-harap cemas seperti ini? Aku tak betul-betul mengenalnya, tapi kenapa aku sepertinya sangat berharap akan balasan pesannya?
Aku pikir, dari pada aku mati penasaran, aku putuskan untuk mengirimkan pesan padanya.

To : Gundala
Subject : Re:Hi!

Message :
Karena akupun tak tahu akan definisi cinta, apakah kamu berkenan untuk membagiku jika ternyata kamu sudah mendapatkan jawabnya?

Regards

-Nathan-

Aku hanya ingin tahu, jawaban seperti apa yang sudah dia dapatkan dari pertanyaannya tempo hari. Ya, itulah alasan yang mendasariku untuk mengirim pesan padanya kali ini.

***

Hari ini, segudang jadwal pertemuan sudah memenuhi daftar kegiatanku satu hari ini. Ditengah macetnya jalanan Ibukota, aku betul-betul bersyukur dengan pesatnya kemajuan teknologi. Dunia maya bisa aku selancari dengan laptopku, meskipun ditengah kemacetan pagi ini. Cukup bisa menghiburku, dan jauh lebih terhibur ketika dalam inbox pesan, aku menemukan nama Gundala. Senang sekali aku melihatnya, dengan penuh antusias aku buka pesan itu.

To : Jonathan
Subject : Re:Re:Hi!

Message :
Wild Cat Cafe, Kuta Bali.
Jam 20.00, tanggal 21 Maret 2008.

Apa maksud isi pesan ini? Apa dia memintaku untuk menemuinya ditempat dan waktu yang dia tuliskan dalam jawaban pesannya itu? 21 Maret 2008, itu berarti lusa. Kenapa dia harus mengajakku bertemu ditempat yang cukup jauh untuk hanya sekedar berbagi jawaban atas pertanyaannya? Sangat merepotkan!

To : Gundala
Subject : Re:Re:Re:Hi!

Message :
Memangnya nggak bisa ya kalau sekedar berbagi jawaban tanpa harus ke Bali?
Setidaknya, kita bisa ngobrol via email atau telp.
Here's my email : smith.jonathan.b@yahoo.co.uk

Regards

-Nathan-

***

"Penerbangan terakhir ke Bali jam 3 sore ini Pak!", ujar assistenku, saat aku minta dia mengecek jadwal penerbangan.

"Ok, booking satu tiket buat saya", pintaku.

Aku memutuskan untuk berangkat ke Bali menemui Gundala. Tak ada balasan terhadap pesan terakhirku. Aku pikir, untuk memuaskan rasa penasaranku, tak ada salahnya aku temui dia. Kalaupun ternyata Gundala itu tak juga menunjukkan batang hidungnya ditempat yang sudah ditentukannya, toh aku tetap bisa menikmati Bali untuk sesaat.

***

Sudah hampir jam tujuh malam. Setelah beristirahat dan menyegarkan diriku dikamar hotel yang aku booking untuk satu malam ini saja, aku memutuskan untuk menuju tempat yang sudah disebutkan Gundala. Dalam perjalananku, aku tersadar, bodohnya aku. Bagaimana aku bisa bertemu dengan Gundala? Aku bahkan tak tahu seperti apa rupanya? Bagaimana aku bisa menghubunginya, kalau seandainya dia tak datang juga? Bodohnya!!!

Tapi aku pikir, ya sudahlah. Aku berangkat saja untuk makan malam, toh perutku sudah sangat lapar dan siap untuk satu porsi Sirloin Steak dan segelas Vanilla Milk Shake. Kalaupun Gundala datang, dia pasti akan menghampiriku, karena dia pasti tahu wajahku dari foto-foto yang aku upload di profilku.

Sambil menikmati menu yang aku pesan, aku mentertawakan diriku. Mentertawakan kebodohan yang sedang aku lakukan. Hanya untuk mendapatkan jawaban akan pertanyaan yang bukan muncul dari benakku, aku sampai mau pergi ke Bali, untuk menemui orang yang sedikitpun tak aku kenal. Seorang laki-laki, ya, laki-laki! Bodohnya aku ini....

"Sebetulnya, cinta tak akan membuat orang lain meneteskan air mata karena merasa disakiti cinta, jika saja orang mau menyadari bahwa sakit yang dirasakannya itu adalah bagian dari cinta itu sendiri", aku tiba-tiba dikejutkan oleh suara laki-laki yang ternyata sudah duduk cukup lama dimeja sampingku.

Seorang laki-laki, tinggi dan tegap. Kulitnya sawo matang, khas kulit orang Indonesia. Cukup tampan menurutku, dan terlihat menjadi lebih tampan dengan penampilannya yang bersih dan rapi. Mungkin usianya sepantar denganku. Atau setidaknya hanya terpaut 2-3 tahun lebih tua dari usiaku.

Aku mengernyitkan dahi. Mungkinkah dia Gundala?

"Ikut aku, disini terlalu ramai. Kita nggak akan leluasa ngobrol ditempat seramai ini", pintanya.

Saat ini, aku merasa ini adalah moment terbodoh dalam hidupku. Bagaimana bisa aku mengikuti kemauan orang yang sama sekali tak aku kenal. Bagaimana kalau aku dibawa ketempat yang sepi, aku dirampok, dibunuh, dan dimutilasi pikirku? Ya Tuhan, bodohnya aku. Tapi aku bagai dihipnotis, aku ikuti kemana laki-laki itu melangkahkan kakinya.

Ternyata hanya ke pantai Kuta, yang berada tepat diseberang cafe. Dia mengambil tempat yang agak jauh dari keramaian. Agak mendekat dengan bibir pantai. Dia membuka sepatunya, dan dijadikan alas untuk duduk diatas pasir putih yang membentang luas. Seperti dihipnotis, akupun ikut duduk tepat disebelah kanannya.

"Thank's udah mau jauh-jauh dateng ke Bali", ucapnya.

"It's ok, gambling juga. If I didn't meet you here, setidaknya bisa lari sebentar dari Jakarta", belaku sedikit menutupi kebodohanku yang menggebu-gebu.

"Bali memang jauh lebih menyenangkan dibanding Jakarta, betulkan kan Bapak Untung?"

Bapak Untung? Wah, dia salah orang pikirku. Kenapa dia panggil aku Untung?

"Kayaknya kita saling salah mengenali orang deh", ujarku seraya berdiri dan bersiap pergi. Karena mungkin saja Gundala yang sebenarnya sedang mencari-cariku di cafe saat ini.

"Aku mungkin saja salah, apalagi kalau ternyata kamu bukan Untung Budiharjo yang aku maksud", ujarnya sambil tetap memandang ke laut lepas.

Untung Budiharjo? Hanya satu orang yang pernah dan selalu memanggilku begitu. Kenapa Untung, karena menurutnya aku adalah orang yang paling beruntung di dunia ini. Aku langsung duduk tepat dihadapannya, dan mencoba mengamati wajahnya dengan seksama.

"Wira?", tanyaku sambil mencoba mengenali wajah tampan dihadapanku saat ini.

"Maaf, waktu itu aku nggak sempat pamit sama Pakde dan Bude Smith. Karena Eyang tiba-tiba memaksaku untuk ikut dengannya pindah ke Australia".

Sontak aku memeluk erat tubuhnya. Wira Adiputra, sahabat kecilku dulu. Sahabat yang sudah seperti saudara kembarku sendiri. Sahabat yang tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar, seiring dengan kepergian kedua orang tuanya dan kakak perempuannya karena kecelakaan pesawat yang mereka tumpangi sepulang dari menjenguk Eyangnya yang bermukim di Australia.

Perasaanku campur aduk, ada rasa sedih, bahagia, dan perasaan aneh lainnya yang bercampur dengan kenangan masa kecilku yang tiba-tiba hadir dalam ingatanku. Semakin erat aku memeluknya, rasa-rasanya tak ingin aku melepaskan pelukan ini dan kehilangan sahabatku ini untuk yang kedua kalinya.

***

Aku bangun sangat siang hari ini, jam 10.30 wita. Banyak yang aku bicarakan bersama Wira hingga pagi tadi, dan aku masih di Bali saat ini. Tapi siang ini, aku harus segera kembali ke Jakarta. Karena aku janji pada orang tuaku bahwa aku hanya satu malam saja di Bali. Lagipula, mereka pasti akan senang sekali dengan kejutan yang aku bawa dari Bali.

Setibanya di Jakarta, aku langsung pulang kerumah. Tak aku gubris rengekan assistenku yang memintaku untuk mampir sebentar kekantor. Aku sudah tak sabar ingin bertemu dengan orang tuaku dan melihat ekspresi wajah mereka jika tahu siapa yang ikut denganku dari Bali saat ini.

"Ma...Pa...Nathan pulang!", aku berteriak-teriak seperti anak kecil.

Rupanya kedua orang tuaku sedang berada dihalaman belakang, merawat tanaman-tanaman hias mereka.

"Ma, Pa, Nathan punya tamu spesial yang Nathan bawa dari Bali", ujarku antusias sekali.

"Apa kabar Pakde, Bude?", Wira langsung memberi salam kepada kedua orang tuaku.

"Gimana rasanya Pakde sama Bude punya anak sukses kayak Untung?", tanya Wira memancing ingatan kedua orang tuaku.

"Wira??", mama ternyata bisa langsung mengenalinya.

Merekapun langsung menghampiri dan memeluk Wira. Beribu pertanyaanpun langsung meluncur dari mulut kedua orang tuaku bagi Wira. Mungkin mereka juga seperti baru saja menemukan anak mereka yang pernah hilang. Hari ini, rumahku dipenuhi canda tawa kebahagiaan yang penuh dengan nostalgia. Menyenangkan sekali...

***

Sudah seminggu Wira berada dirumahku. Sudah seminggu pula aku banyak mendelegasikan pekerjaanku pada assistenku dikantor. Aku hanya mau menghabiskan waktuku bersama Wira, selagi dia masih ada disampingku dan belum terpikir untuk kembail ke Australia. Akupun bisa melihat, bahwa Wira pun seolah-olah masih enggan kembali ke negeri kangguru itu. Terbukti, sampai detik ini Wira masih belum tahu kapan dia akan kembali ke Australia.

"Aku tuh bener-bener nggak nyangka bisa nemuin kamu di situs itu", ucap Wira membuka obrolan malam ini setelah aku selesai mandi sebelum berangkat tidur.

"Kok bisa ya? Maksudku, kenapa baru sekarang kamu nyari aku? Dulu-dulu kemana aja, gak pernah ada kabar?", tanyaku.

"Sebetulnya, aku nggak pernah bisa ngelupain kamu, Untung! Cuma selama ini aku juga nggak tahu harus kasih kabar kamu kemana? Aku nggak tahu alamat pos rumah kamu. Mau telpon kamu dari Australia, aku nggak berani. Kamu tahu kan kayak apa galaknya Eyangku? Begitu aku diem-diem bisa telpon kamu, ternyata keluargamu udah pindah dari rumah di Bintaro. Dari situ, aku bingung gimana caranya bisa hubungin kamu", Wira coba menjelaskan.

"Terus?", tanyaku meminta penjelasan yang lebih lengkap.

"Ya terus, sampai beberapa minggu kemarin, aku iseng cari nama kamu di situs pertemanan itu. Ternyata gampang banget, dan langsung ketemu. Aku pikir, kenapa nggak dari dulu aku cari disitu. Siapa tahu kita bisa ketemu lebih cepet".

"Nggak ada kata terlambat. Aku seneng banget kita bisa ketemu lagi", ujarku.

"Aku juga! Aku nggak mau pisah dan kehilangan kamu lagi, Ntung", ucap Wira seraya mendekapku dari belakang dengan erat.

Tak ada perasaan risih pada saat Wira memelukku. Meskipun tubuhku hanya dibalut sehelai handuk. Aku bahkan merasa sangat nyaman, dan tak ingin Wira melepaskan pelukan itu. Kecupan lembut dan pelan yang Wira daratkan dipundakku pun, menghadirkan kehangatan dan sensasi yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Pundak, tengkuk, leher, pipi, lalu bibirku. Membuat kami semakin menikmati sensasi yang sangat luar biasa, menyeret menjauh dari daratan logika.

Ketika aku membuka mata, kurasakan hangat diriku dalam dekapan. Kubuka mataku, ternyata aku berada dalam dekapan Wira, tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh kami. Kudorong tubuh Wira menjauh! Ya Tuhan, apa yang telah terjadi? Ini semua salah, salah besar! Kenapa ini semua sampai terjadi? Kenapa??

***

Tak ada pelukan hangat ataupun jabat perpisahan untuk Wira. Setelah kejadian itu, aku langsung menjaga jarak dan menjauh dari Wira. Aku sibukkan diriku dengan semua pekerjaan kantorku. Bahkan aku lewatkan rutinitas sarapan dan makan malam dirumah bersama orang tuaku, semata-mata agar aku tak perlu bertemu langsung dengan Wira. Diapun menyadari gelagatku, hingga akhirnya, beberapa hari kemudian Wira memutuskan kembali ke Australia.

Semua yang telah terjadi malam itu antara aku dan Wira, betul-betul membuatku pusing kepala. Aku terus bertanya-tanya, kenapa itu semua bisa sampai terjadi? Aku tahu itu semua tidak benar, tapi kenapa aku tak menolaknya, bahkan aku merasa bahwa aku juga menikmatinya malam itu. Tapi itu semua salah, dan tak boleh terjadi!

Sejuta tanya melintas dibenakku.Kenapa semua itu bisa terjadi? Kenapa aku dan Wira bisa sampai melakukan hal itu. Tapi tak satupun jawab yang bisa aku dapatkan. Wira, ya mungkin Wira bisa menjawab semua tanya yang muncul pasca kejadian malam itu. Tapi bagaimana aku bisa menghubungi Wira? Aku belum sempat menanyakan alamat tempat tinggalnya di Australia. Bahkan nomer telponnya pun aku tak sempat menanyakan. Hanya ada satu kemungkinan, situs pertemanan tempat Wira menemukanku. Meskipun kemungkinannya kecil untuk Wira membalas pesanku. Tapi setidaknya aku coba dulu.

To : Gundala
Subject : Re:Re:Re:Re:Hi!

Message :
Wira, banyak tanya yang muncul dalam benakku akan hal yang telah terjadi antara kita malam itu.
Bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan semua jawaban itu?
Aku perlu ketemu kamu.
Tapi bagaimana dan kemana?
Need your reply a.s.a.p!

Regards

-Nathan-

Semoga Wira membalas pesanku secepatnya. Aku sangat berharap akan hal itu, karena aku tak mau terus-terusan dihantui kebingungan. Semoga...

***

Tuhan, sudah satu bulan dan tak ada jawaban dari Wira. Kemana Wira? Kenapa? Apakah Wira kecewa dan marah padaku?

Semua ini betul-betul menyiksaku. Semakin banyak tanya yang muncul. Semakin hari, akupun semakin tersiksa. Aku mulai merindukan Wira, sangat merindukannya. Tak mudah bagiku setiap malam untuk memejamkan mata. Semua membayangiku, tempat tidur dan kamar ini menjadi saksi bisu apa yang terjadi antara aku dan Wira. Kini, kamar inipun kembali menjadi saksi ketika aku meneteskan air mataku, menangisi hatiku yang semakin merindukan Wira. Aku merindukannya disampingku, merindukan peluknya, ciuman dan belaian lembutnya. Aku betul-betul merindukan Wira.

Ya Tuhan, apa yang terjadi pada hamba-Mu ini? Hamba tahu ini semua salah dan tak benar. Tapi, apakah ini yang dinamakan cinta? Hamba tak pernah minta untuk mencintai dengan cara seperti ini. Tapi kenapa? Kenapa Engkau mengkaruniakan perasaan ini pada hamba?

Wira, aku mencintaimu!

***

Pagi, siang, sore, dan malam. Bahkan disetiap waktu senggangku, aku sempatkan terus untuk melihat inbox profilku. Hampir dua bulan, semua itu menjadi aktivitas baruku. Aku terus berharap, berharap tanpa tahu kapan Wira akan menjawab pesanku. Akupun tak tahu, apakah Wira akan menjawab pesanku atau tidak.

"Tok...Tok...Tok!", ketukan pintu kamarku mengejutkan lamunanku.

"Nathan, ada surat buat kamu!", ternyata mama yang mengetuk pintu kamarku.

Perlahan aku buka pintu kamarku, "Dari siapa Ma?", tanyaku.

"Lihat aja sendiri", seraya menyodorkan surat beramplop coklat itu.

Wira! Ya Tuhan, akhirnya jawaban itu datang. Tak sabar kubuka amplop surat berperangko Queen Elizabeth itu. Selembar kertas dengan tulisan tangan itupun aku baca perlahan.

Melbourne, June 15, 2008

Dearest, Untung.
Kabarmu, aku harap semuanya baik-baik saja. Aku benar-benar berharap bahwa kamu akan baik-baik saja, terlebih dengan semua yang telah terjadi antara kita. Aku tahu, pasti banyak sekali pertanyaan yang ingin kamu sampaikan padaku. Sebelumnya, aku betul-betul minta maaf jika semua yang telah terjadi diantara kita itu menyakitkan hatimu. Tapi aku hanya bisa berkata, bahwa aku tak pernah menyesali apa yang sudah terjadi. Hari-hari yang aku lewatkan, semua yang terjadi bersamamu selama aku di Jakarta, semuanya sangat membahagiakanku. Bersyukur aku masih sempat menemuimu, masih sempat merasakan bahagia bersamamu. Aku tak tahu apalagi yang harus aku tuliskan disini, apalagi yang harus aku katakan padamu.

Aku mencintaimu, Jonathan Budiharjo Smith!

Semoga itu bisa memberimu jawaban akan semua yang telah terjadi dan dirasakan diantara kita.



Love you!

Wira Adiputra


Ternyata benar! Apa yang aku rasakan ini adalah cinta. Kenapa disaat cinta yang selama ini aku impikan tiba, aku justru harus kehilangan cinta itu? Aku tak peduli meskipun cinta yang kurasakan ini salah. Aku hanya ingin merasakan dan membiarkan cinta itu tetap ada dalam ruang hatiku. Wira, aku akan terus menyimpan cinta ini untukmu, hanya untukmu. Meskipun aku tak tahu, apakah kau akan kembali menemuiku untuk merajut cinta kita berdua atau tidak. Aku cinta kamu Wira....