Sekolah Gratis, Sekolah Kartini


.

Sekolah petak di tengah perkampungan kumuh di bawah jembatan layang adalah cita- cita dari kembar bersaudara, Sri Rosiati (Rosi) dan Sri Irianingsih (Rian). Sekolah ini berdiri pada tahun 1997, sekolah pertama yang mereka dirikan terletak di kolong jembatan, Rawa Bebek, Jakarta Utara. Semua sekolah petak tripleks itu dibangun dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama.

Bangunan sekolahan itu tampak sederhana sekali, pembatas antara kelas yang satu dengan yang lainnya hanya menggunakan tripleks dari kayu. Ruangan seluas 40 meter persegi itu terlihat sesak dengan sekitar 80 anak yang belajar di tiap lantai. Sekolah yang didirikan ibu kembar dinamai “Sekolah Darurat Kartini”. lbu kembar tidak pernah menamai sekolah ini sebagai yayasan ataupun sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Kartini” sekarang sudah mempunyai lima “cabang”, yaitu di bawah kolong jembatan Rawa Bebek, bawah jembatan Ancol, bawah jembatan Pluit, bawah jembatan Tambora, dan di pinggir rel kereta api Kampung Janis. Tidak tanggung-tanggung, perempuan kembar kelahiran Semarang, 4 Februari 1950 ini tak hanya menyelenggarakan layanan pendidikan gratis, tapi juga menyediakan perangkat sekolah dari buku sampai pakaian seragam.

Semua sekolah petak tripleks itu dibangun dalam lingkungan komunitasnya, tidak terpisah dari perkampungan utama. Jumlah murid Sekolah Darurat Kartini kini mencapai hingga 2000 murid, dari taman kanak kanak, hingga SMU. Mereka juga membuka kelas kursus keterampilan, ada kursus menjahit, merangkai kerajinan tangan serta memasak. Bahkan rencana selanjutnya ibu kembar ini akan membangun poliklinik gratis untuk masyarakat.







Aksi sosial Rosi dan Rian pantas diacungi jempol. Maklum, ibu kembar ini kerap menyambangi lima sekolah darurat miliknya. Bahkan, mereka pun turut mengajar. Hebatnya lagi, untuk membiayai kegiatan sekolah darurat itu, ibu kembar ini tak canggung-canggung untuk merogoh kocek pribadinya. Bagi Rosi dan Rian, mengajar anak-anak ini bukanlah tantangan, namun bagi mereka tantangan yang paling mendasar tentunya bagaimana mengubah kebiasaan anak-anak di suatu wilayah yang sangat miskin pengetahuan tentang kebersihan dan kesehatan lingkungan.

Bagi ibu kembar ini, tidak ada yang lebih berarti bagi mereka selain mewariskan harta yang cukup untuk bekal mereka hidup selamat di dunia dan akhirat. Mereka percaya, tidak ada yang berkurang sedikipun dari harta yang dibelanjakan untuk jalan kebaikan. Bahkan, yang Maha Kuasa berjanji untuk menambahkan terus menerus. Kini, mereka tengah berupaya keras agar sekolah Kartini tetap berjalan untuk anak-anak miskin dan terlantar. Mereka tetap anak-anak bangsa ini, jadi jangan biarkan mereka terus menerus bodoh dan miskin

Nah, melihat hal ini saya jadi bertanya dalam hati, kemanakah kepekaan dan tanggung jawab pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Sedangkan biaya sekolah di negeri ini semakin mahal dan semakin bersifat komersil.