Bila Kuingat....


.

Sepuluh jam sudah aku menunggumu disini. Stasiun ini seolah-olah sudah menertawakan kebodohanku karena sudah mau menunggumu hampir separuh hari ini. Akupun yakin, semua orang pasti juga sedang menertawakanku saat ini. Aku yang naif dan bodoh, yang sudah memilih untuk meninggalkan rumah demi mewujudkan cinta yang selama ini terhalang restu orang tuaku. Tapi kamu, orang yang sudah aku pilih untuk melabuhkan cinta ini, orang yang sudah menjadikanku anak paling durhaka dalam keluargaku, ternyata sudah memberikanku tamparan keras, sekeras hati ini......

'Braaaakk!!'

Sudah buta sepertinya gadis didepanku ini, sampai dia menabrakku padahal tempat ini begitu luas. Tak ada kata maaf terlontar dari bibirnya, dia hanya menatapku kaku. Aaah... Sudahlah, kepalaku masih pusing, tak perlu aku menambah masalah dengan orang yang tak kukenal itu.

Sepertinya aku memang anak yang tak berguna. Aku semakin menyadari betapa orang tuaku sangat menyayangi diriku. Tak ada kemarahan yang keluar akibat kebodohan yang aku perbuat. Padahal aku sudah tak menghiraukan mereka, dan memilih pergi dengan wanita yang ternyata memang tak sungguh-sungguh kepadaku. Meskipun hatiku hancur karena aku sudah terlanjur menggantungkan impian masa depanku padanya, tapi sepertinya aku benar-benar harus bangkit dari keterpurukan ini.


***



"Banyu, hari ini kamu ikut Papa ke cafe kita ok?", suara Papa membuyarkan lamunanku.

"Yah, itung-itung refresh aja, biar kamu gak terlalu jenuh dirumah"

Papa mungkin benar, aku harus keluar dari semua ini. Setidaknya kali ini aku coba jadi anak yang patuh pada orang tuanya. Anggap saja aku mulai belajar mengenal lebih banyak lagi tentang cafe itu, karena cepat atau lambat aku harus mengelola cafe itu. Setidaknya begitulah yang sudah diatur oleh kedua orang tuaku. Aku meneruskan bisnis cafe mereka, dan Lury adik perempuanku, meneruskan bisnis salon milik Mama.

Sudah cukup lama juga aku tak pernah datang ke cafe ini. Ada romansa masa kecil yang hadir ketika aku sampai di cafe ini. Ketika aku dan Lury masih kecil, setiap akhir pekan kami selalu menghabiskan waktu kami di cafe ini. Cafe ini memang sudah menjadi bisnis turun temurun dari keluarga Papa.
Semuanya begitu nyaman dan hangat sekali disini. Aku mulai kembali mencintai tempat ini. Tapi, ada yang menggangu pandanganku. Siapa gadis yang ada di meja kasir itu? Sepertinya aku mengenal wajahnya, tapi siapa dan dimana??

Gadis di meja kasir itu, entah kenapa tiba-tiba mengusik hatiku. Aku tak begitu paham kenapa, aku bahkan tak begitu yakin apa aku pernah mengenalnya atau tidak. Tapi wajahnya, sepertinya aku pernah melihat wajah itu. Ya, wajah yang cantik tanpa make up sedikitpun. Tapi kecantikan itu tertutup dengan kekakuan yang tersirat diwajahnya, seolah memendam kesedihan dan kebencian.
Aaaaah....Aku ingat sekarang!
Dia adalah gadis yang menabrakku di stasiun kereta tempo hari.


***


"Pa, kasir di cafe yang shift siang kemarin siapa namanya?", aku mencoba memberanikan diri bertanya disela-sela makan malam kami.

"Hmmmm, kenapa memangnya?", tanya Papa.

"Heran aja, kok Papa bisa mempekerjakan perempuan judes tanpa ekspresi seperti itu?"

"Namanya Lintang. Dia tak seburuk yang kamu kira kok. Anaknya pintar, pekerja keras, dan selalu bisa menyelesaikan semua pekerjaannya dengan baik. Papa tahu, terkadang dia memang terlihat kaku dan dingin. Papa juga terkadang berpikir, apakah ada masalah berat yang selama ini menyelimuti kehidupannya. Tapi menurut Papa, selama itu tidak menggangu pekerjaannya dan menurunkan kinerjanya, ya biarkan saja".

Ternyata benar dugaanku. Lintang bukan hanya kaku dan dingin karena menabrakku tempo hari, tapi memang sepertinya begitulah pembawaannya sehari-hari. Aku jadi penasaran, sebetulnya apa dan kenapa gadis secantik dia bisa jadi sangat kaku dan dingin seperti itu??


***


Semakin hari rasa penasaranku akan Lintang jadi semakin besar. Terlebih setelah aku mencoba mengamati sendiri semua gerak-gerik Lintang di cafe. Tapi aku sadar, kalau aku hanya memperhatikan dia ditempat kerja, aku tidak akan medapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang muncul dibenakku tentang Lintang. Aku harus mencari tahu lebih tentang dia.

Malam ini aku putuskan untuk mengikuti dia pulang. Tak jadi masalah meskipun dini hari, karena aku harus mencari tahu lebih tentang dia. Sekaligus aku khawatir dengan keselamatannya pulang dini hari, karena baru kali ini aku membuat jadwal shift malam untuknya. Tujuanku cuma satu, pengintaian akan jauh lebih leluasa dilakukan pada malam hari dibandingkan siang atau sore hari. Sudah seperti detektif swasta saja aku ini.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Perlahan aku mengikuti taksi yang ditumpangi Lintang. Taksi itu membawa kesuatu pemukiman yang cukup padat, rumah-rumah berdiri berhimpitan. Aku berpikir, mungkin tak ada privasi bagi penduduk pemukiman ini. Karena satu bangunan dengan bangunan yang lain saling berhimpitan.

Rupanya aku harus meninggalkan mobilku diujung gang. Gang itu tidak terlalu sempit dan gelap, tapi cukup bisa menghilangkan keseimbanganku. Teman-temanku bilang, ini salah satu bentuk Phobia. Aku bisa merasa pusing dan kehilangan keseimbangan jika berada dilorong sempit dan gelap. Aku benar-benar pusing, aku bingung tak tahu harus berjalan kearah mana. Sampai tiba-tiba ada tangan yang menopangku, dan akupun tak sadarkan diri.

Kepalaku masih agak pusing. Aku coba membuka mataku dan melihat sekeliling. Dimana aku? Aku tak mengenal tempat ini?

"Istirahat saja dulu kalau Bapak masih merasa pusing"

Aku mencoba mencari dari mana asal suara itu, sampai tiba-tiba wajah itu muncul dihadapanku dan sedikit membuatku terkejut.

"Maaf mengagetkan. Bapak tadi pingsan diujung gang, makanya Bapak saya bawa kerumah. Kalau Bapak masih mau istirahat, silahkan saja. Saya tunggu diteras depan saja, jadi kalau ada perlu silahkan panggil saya didepan".

"Kenapa harus tunggu diteras? Inikan sudah hampir pagi, dan kamu baru pulang kerja. Memangnya kamu nggak mau istirahat?", tanyaku dengan penuh heran.

"Maaf Pak, saya tinggal disini sendiri. Saya tidak mau timbul fitnah dari tetangga jika mereka tahu ada laki-laki yang menginap dirumah saya"

"Oh, maaf kalau begitu", aku jadi tak enak hati pada Lintang.

"Saya pamit aja kalo gitu, sudah mendingan kok. Kamu kan harus istirahat, saya juga lebih baik istirahat dirumah aja", lalu akupun bergegas pulang.


***


"Bisa keruangan saya sebentar Lintang?", aku memintanya ketika kami bertemu malam ini di cafe.

"Tok..Tok..Tok.."

"Masuk!", seruku.

"Maaf, Bapak panggil saya? Ada yang bisa dibantu?", Lintang bertanya dengan bahasa tubuh yang membentangkan jarak antara kami, seperti budak dengan majikan.

"Duduk dulu, santai aja. Belum banyak pengunjung kan?"

"Tapi Pak?"

"Pak? Emang saya keliatan tua banget ya?", aku coba melontarkan canda untuk sedikit melonggarkan ketegangan antara kami.

"Maaf, bukan maksud saya..."

"Iya, saya ngerti", aku coba memotong pembicaraannya.

"Just relax...Kalo lagi kerja, gak apa-apa panggil Bapak. Diluar itu, panggil Banyu aja. Nah sekarang, aku cuma mau bilang terima kasih karena kamu udah nolong aku."

"Sama-sama Pak. Tapi kalau saya boleh tau, ngapain Bapak ada didepan gang rumah saya?"
Aduh.....Aku harus jawab apa?!?

"Ummm...Anu...Itu, saya nyari alamat rumah temen!", tiba-tiba terlontar alasan itu begitu saja.

"Baiklah kalau begitu, mudah-mudahan sudah ketemu alamatnya. Saya permisi mau melanjutkan pekerjaan saya"

Ok, alasan yang aneh mungkin. Tapi ternyata cukup membuat Lintang percaya. Percaya? Apa benar Lintang percaya? Atau dia sebetulnya tidak peduli?


***


Satu bulan sudah aku mengenal dan memperhatikan Lintang. Ternyata Papa benar, dia tak sekaku dan sedingin yang aku pikirkan selama ini. Terbukti, satu bulan terakhir ini dia tak menolak atau menghindariku, padahal semua orang pasti bisa dengan jelas melihat bahwa aku mencoba mendekatinya. Aku bahkan merasa sepertinya Lintang memberikan respon positif dari pendekatanku ini.
Pendekatan? Ya, pendekatan!

Aku baru menyadari, ketertarikanku pada Lintang bukan karena ingin tahu kenapa dia sekaku dan sedingin itu. Tapi aku semakin menyadari bahwa aku tertarik padanya, ya, aku menyukainya. Cinta terkadang tak memiliki alasan, itu juga yang aku rasakan kini, aku mencintainya dan aku tak tahu kenapa aku mencintainya. Tak perlu harus ada jawaban dari setiap pertanyaan menurutku.

Lintang juga sepertinya menangkap sinyal-sinyal cinta dariku. Tak pernah sekalipun dia mengelak dan bersikap dingin padaku seperti yang selama ini aku kira. Dia bahkan pribadi yang sangat menyenangkan. Aku bersyukur mengenalnya dan jatuh cinta padanya, karene dia telah membuat aku melupakan kesalahan yang telah aku perbuat beberapa tahun terakhir ini dalam waktu yang sangat singkat.

Tak ada kata jadian diantara kita, tak ada hari dan tanggal, kapan resminya kami menautkan hati. Semua berjalan seiring waktu membawa kami dalam romansa indah ini.
Entah apa yang membuatku begitu yakin pada Lintang. Aku yakin bahwa dialah tulung rusukku yang Tuhan ambil dulu. Lintang adalah takdirku, aku sangat percaya itu. Aku juga yakin, ini semua bukanlah cinta buta sesaat. Semua begitu mudah bagi aku dan Lintang. Orang tuaku pun tak menentang pilihanku kali ini. Padahal biasanya mereka sangat selektif, Bibit, Bebet, dan Bobot. Cukup mengherankan bagiku, karena aku tahu sebetulnya Lintang jauh diluar kriteria Bibit, Bebet, dan Bobot orang tuaku.
Lintang hanya gadis yatim piatu lulusan SMA yang bekerja sebagai kasir. Sangat jauh sekali dari apa yang selama ini selalu digembor-gemborkan orang tuaku. Tapi Lintang memang luar biasa!

Tanpa proses yang rumit dan berbelit, akhirnya aku menikahinya. Semua sangat dilancarkan oleh Yang Maha Kuasa, dan aku sangat bersyukur akan hal itu. Aku bersyukur karena Lintang sangat mencintaiku, belum pernah aku dicintai setulus ini sebelumnya. Aku berjanji untuk selalu mendampinginya hingga akhir hayatku.


***


"Sayang ini kotak apa?", tanyaku ketika kami sedang berbenah barang-barang kami dirumah baru kami hadiah perkawinan dari Papa dan Mama.

"Bukan kotak apa-apa", Lintang dengan gugup menjawab dan langsung merebut kotak itu.
Aku heran, jika bukan hal yang penting, kenapa dia harus segugup itu? Tapi aku tak mau mempermasalahkan hal itu sekarang, aku tak mau merusak kebahagiaannya akan rumah baru kami.


***


Malam semakin larut, tapi aku belum juga bisa memejamkan mataku. Bukan karena ini malam pertamaku dirumah baru kami. Tapi karena aku tak bisa berhenti memikirkan tentang kotak yang penuh tanda tanya milik Lintang. Ah, dari pada aku mati penasaran, aku putuskan untuk mencari tahu apa yang ada didalamnya. Aku sempat mengamati tadi, dimana kotak itu diletakkan Lintang. Tak sulit untuk menemukannya, karena aku beyul-betul mengamatinya tadi.

Perlahan aku buka kotak itu, aku bingung dengan apa yang aku temukan. Ada setumpuk foto-foto seorang wanita yang hampir disemua foto dicoret-coret pada bagian wajahnya. Juga ada beberapa kartu ucapan ulang tahun dari seorang wanita yang ternyata Mamanya Lintang. Berarti Mamanya Lintang masih hidup?? Buktinya dia masih mengirimkan ucapana ulang tahun untuk Lintang tahun ini. Tapi kenapa Lintang bilang Mamanya sudah meninggal pada saat melahirkannya? Kenapa dia berbohong padaku tentang hal ini? Ah, kepalaku penuh dengan tanya yang aku tak tahu apa jawabnya.

***

Pagi ini, setelah aku mengantarkan Lintang ke cafe, aku memutuskan untuk mencari alamat Mamanya Lintang. Berbekal alamat yang aku dapatkan dari kartu ucapan ulang tahun milik Lintang. Tak sulit menemukan alamat itu. Tak sulit juga menemukan rumah yang berada dipemukiman kumuh padat penduduk. Hingga sampailah aku didepan sebuah rumah yang cukup memprihatinkan. Tak ada suara jawaban dari ketukan dan salamku. Aku memberanikan diri masuk kedalam. Betul-betul aku tak mengira, jika memang selama ini Mama Lintang tinggal ditempat ini, dia pasti sangat menderita.

"Siapa disana?", tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara wanita yang penuh menyiratkan kelelahan dalam hidup.

Aku menghampiri ruangan dari mana suara itu berasal. Disitu aku menemukan seorang wanita tua yang sepertinya sudah sangat lelah menjalani hidup. Mamanya Lintang, Ibu mertuaku, beliau hidup menderita sendirian. Aku tak habis pikir, kenapa Lintang berbohong padaku tentang semua ini? Kenapa?

"Aku sudah tahu semua tentang Mamamu Lintang", aku memberanikan diri untuk memulai pembicaraan malam itu.

"Maksudnya apa?", dia masih berpura-pura tak tahu.

"Kenapa kamu bilang Mamamu sudah meninggal ketika melahirkanmu? Kenapa kamu bohong padaku tentang hal ini? Aku sudah bertemu Mamamu hari ini. Aku melihat langsung seperti apa kehidupan yang dia alami".

"Apa yang kamu tahu tentang kehidupannya? Kamu gak tahu apa-apa!", tiba-tiba Lintang berteriak histeris.

"Ya kalau kamu nggak pernah kasih tahu aku, bagamana aku bisa tahu??"

"Seorang wanita yang sudah meninggalkan anaknya yang masih kecil, meninggalkan suaminya yang sakit-sakitan, dan memilih untuk hidup dengan lelaki kaya. Masih pantaskah dia dipanggil Mama?? Kamu nggak tahu seberapa berat hidup yang harus aku lewati, seberapa berat aku harus menghidupi aku dan Ayahku, mengobati penyakit Ayahku yang tak kunjung sembuh. Aku masih terlalu kecil untuk itu semua. Kamu nggak tahu kehidupan seperti apa yang harus aku lewati setelah Mama meninggalkan kami!!", Lintang semakin histeris. Aku tak kuasa meneruskan pembicaraan ini. Pelan aku peluk dia, aku rengkuh dan memberinya kehangatan. Kini aku hanya berharap, semoga Lintang mau sedikit membuka maaf bagi Mamanya. Setidaknya dia kini tahu seperti apa kondisi yang dialami Mamanya.


***


Hari ini cuaca panas sekali, padahal beberapa hari kemarin hujan deras mengguyur dan cukup membuat sejuk kehidupan. Aku melangkahkan kaki dengan penuh semangat. Ya, aku sangat semangat sekali menjalani hari ini karena ada hal spesial yang akan aku lakukan hari ini. Hal spesial? Hal apakah itu? Kemana aku akan pergi melangkah saat ini? Hal spesial apa yang aku lakukan dan dimana? Kenapa aku tiba-tiba tak ingat apa-apa? Aku bingung, kepalaku mendadak pusing sekali, semuanya berputar, semua menjadi gelap, semua...............

Perlahan ku buka mataku. Semua serba putih disekelilingku. Ya Tuhan, apakah aku sudah mati? Dimana aku saat ini?

"Bapak sudah sadar rupanya", terkejut aku mendengar suara itu. Rupanya seorang perawat yang berada disampingku.

"Bapak sekarang dirumah sakit, tadi ada seorang wanita yang mengantarkan Bapak kesini. Katanya dia menemukan Bapak tergeletak pingsan di taman kota. Tak ada identitas yang kami temukan, dan tak ada juga yang bisa kami hubungi untuk menjemput Bapak di rumah sakit ini. Sepertinya semua barang bawaan Bapak diambil orang".

Perlahan aku langkahkan kakiku menuju ruangan dokter yang merawatku. Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku tiba-tiba lupa dan pingsan ditengah jalan? Apakah ini ada hubungannya dengan migrain yang sering menyerangku?

"Sebetulnya saya sakit apa Dok?", tanyaku pada Dokter yang merawatku.

"Maaf sebelumnya, boleh saya tau nama dan usia Bapak?", Dokter itu bertanya padaku.

"Nama saya Banyu Rahardian, 31 tahun Dok".

"Baik Pak Banyu, berdasarkan hasil analisa awal kami, ada suatu kelainan pada syaraf otak anda. Tapi diagnosa itu bisa saja salah, semua tergantung pada hasil scan yang sudah kami lakukan. Minggu depan anda bisa kembali lagi kemari untuk mengetahui hasil akhir pemeriksaan anda".

"Tapi Dok, terus terang saja, sebetulnya apa penyakit yang ada pada diri saya Dok?", tanyaku penuh curiga.

"Apakah sebelum kejadian ini Pak Banyu sering mengalami sakit kepal yang hebat?", tanya Dokter itu.

"Iya Dok, sudah hampir satu tahun terkhir ini saya sering mengalami migrain hebat. Saya pikir itu semua karene stress yang mendera kehidupan saya Dok. Karena terbukti, bulan-bulan terkahir ini saya sudah jarang mengalaminya lagi Dok, karena saya sudah tidak terlalu stress lagi. Tapi hari ini, saya tiba-tiba lupa tentang hal yang akan saya lakukan dan saya juga lupa kemana saya akan pergi? Berusaha keras saya mengingat semua itu ditengah perjalanan saya, sampai akhirnya migrain itupun menyerangkan lagi dan sangat tak tertahankan. Mungkin itu yang membuat saya akhirnya ambruk ditengah jalan Dok".

"Saya sangat mengenal gejala itu, dan ada satu kemungkinan terburuk yang terjadi pada diri anda. Tapi sekali lagi, semua itu tergantung hasil pemeriksaan minggu depan, dan tergantung pada kemajuan kondisi anda"

"Apa itu Dok?", tanyaku penasaran.

"Ada satu penyakit yang mungkin anda idap, Alzheimer".

"Penyakit apa itu Dok?"

"Satu penyakit yang menyerang memori ingatan anda. Pertama anda akan lupa dengan apa yang akan anda lakukan, kemudian anda akan lupa dengan banyak hal yang telah terjadi dalam hidup anda, anda juga akan lupa dengan semua yang ada disekitar anda, hingga akhirnya anda akan lupa dengan diri anda, dan andapun lupa akan cara menjalani hidup ini. Dengan semakin habisnya memori anda, maka perlahan tapi pasti, kematian bisa menjemput anda".

Aku seperti disambar petir disiang hari. Penyakit apa itu? Kenapa harus menimpa diriku? Aku tak percaya dengan semua itu!


***


Pagi ini aku terbangun lebih awal. Aku ingin sekali membuatkan Lintang sarapan pagi ini. Nasi goreng sosis kesukaannya. Ya, aku masih ingat sarapan favoritnya, berarti ada kemungkinan diagnosa dokter salah akan penyakitku.

"Aduh...Pagi-pagi udah bikinin aku sarapan, makasih ya Sayang", Lintang mengecupku dengan penuh mesra.

"Tapi sayang, kok pedes banget nasi gorengnya? Kamu kan tau, aku nggak pernah suka makanan yang pedes", baru suapan pertama Lintang langsung berhenti menyantapnya. Ya Tuhan, apa benar Lintang tak pernah suka makanan pedas? Tapi kenapa yang aku ingat makanan pedas adalah kesukaannya? Haaaaah, mungkin aku lupa tentang hal itu.

Setelah Lintang berangkat ke cafe, aku memutuskan untuk membuka-buka lagi album-album fotoku. Aku mulai dari album paling lawas, foto-foto masa kecilku yang bahagia bersama keluargaku. Lalu foto-foto masa sekolahku, sampai foto-fotoku dengan Ryani mantan kekasihku yang terakhir. Aaaaah, kenapa foto-foto ini masih aku simpan semua disini? Aku jadi teringat akan semua kisahku dengannya. Teringat pula bagaimana aku terakhir kali menunggunya distasiun kereta dengan rencana gila kawin larinya. Tahun-tahun yang melehakan bagiku menjalin hubungan dengannya.

Masih ada satu album foto terbaru. Masih sangat baru sekali, bahkan aromanya pun masih belum hilang. Perlahan mulai kubuka album itu. Dihalaman pertama, ada foto sepasang pengantin dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Itu aku, mengenakan pakaian basahan khas Yogyakarta. Kulihat disampingku ada seorang wanita cantik, sangat cantik, sepertinya dialah mempelai wanitanya. Siapa dia? Siapa namanya? Aku sudah menikah? Apakah aku menikah dengan wanita di foto itu?

Aku buka lembar demi lembar halaman album foto itu. Semua berisi foto pernikahanku dengan wanita cantik itu. Siapa dia? Kenapa aku tak bisa mengingatnya? Kenapa aku tak bisa sedikitpun mengingat akan pernikahan itu? Aaaaaah, kepalaku sakit sekali!!!!


***


Hari-hariku kini aku habiskan untuk mengingat setiap detil yang ada dalam kehidupanku. Aku tandai dengan memo semua yang bisa aku ingat disekeliling kehidupanku. Setiap detil, aku usahakan supaya tak ada yang terlewat. Banyak sekali memo yang kubuat. Aku senang, itu berarti ingatanku masih baik.

"Aku pulang sayang!"

Aaaah, ada suara wanita yang baru saja masuk kerumahku. Wanita yang cantik, dia tersenyum menatapku. Dia menghampiriku, memelukku, dan mencium keningku.

"Kamu dari mana saja? Kenapa kamu baru datang lagi? Kenapa kamu tak menemuiku distasiun itu? Aku menunggumu barjam-jam Ryani!".

"Ryani? Apa maksudmu Mas Banyu?", wanita cantik itu mundur menjauh dariku. Ada raut kebingungan diwajahnya. Aku jadi bingung, kepalaku sakit sekali. Aku bingung, semua berputar, semua gelap......

Kubuka mataku perlahan. Apakah aku tertidur? Samar-samar aku mendengar suara percakapan diruang tengah. Ada siapa diluar?

"Lintang bingung Pa. Ada dengan Mas Banyu. Akhir-akhir ini semua sikapnya sangat aneh. Dia tak mau pergi kemanapun. Dia hanya mengurung diri dirumah. Seperti yang Papa dan Mama liat, seluruh rumah penuh dengan tempelan memo. Seolah-olah Mas Banyu mencoba menandai seisi rumah supaya dia tak lupa dengan nama serta kejadian yang ada dirumah ini. Mas Banyu juga akhir-akhir ini tampak lemah dan sering pingsan", jelas sekali aku dengar wanita itu berbicara sambil menangis.

"Lebih baik kamu hubungi Dokter yang terakhir dikunjungi Banyu. Mungkin Dokter itu tau apa yang terjadi pada Banyu", nyaman sekali aku dengar suara laki-laki itu.

Siapakah mereka? Siapa yang sedang berbincang diruang tengah? Aku coba untuk mencari tahu, aku buka pintu kamarku. Aku terpaku, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Hangat, ya hanya rasa hangat dan basah menjalari kakiku.

"Mas Banyu!!!", wanita cantik itu berteriak histeris menghampiriku.

"Kenapa Mas Banyu pipis disini???", dia terisak-isak memelukku.

Dibawanya aku masuk kekamar. Dilapnya tubuhku yang basah dan digantinya celana yang sudah aku basahi. Aku bingung, kenapa ini terjadi???


***



Pagi ini, rumah sudah sepi saat aku terbangun. Aku menemukan memo didepan pintu kamar.



"Mas Banyu, aku pergi sebentar ke Dokter Carlos. Mas Banyu jangan kemana-mana ya, aku segera pulang".

-Lintang-



Lintang pergi ke Dokter Carlos, Dokter yang menangani penyakitku. Lintang Pelitasari, istriku. Aku ingat, akhirnya aku ingat semuanya. Aku bisa mengingat lagi. Aku ingat siapa wanita cantik itu. Lintang, dia istriku. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Selagi kuingat semua ini, aku harus mencatatnya, agar nanti jika aku lupa lagi, aku bisa membaca catatan ini dan mengingatnya lagi. Satu lembar penuh aku tuliskan semua yang aku ingat dalam kertas itu. Aku mulai semakin menyadari, ternyata penyakit itu benar-benar menggerogotiku. Perlahan tapi pasti semua memoriku akan hilang, dan seiring semua itu, nyawaku pun perlahan akan meninggalkan ragaku. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Aku tak boleh membuat Lintang sedih. Aku tak boleh menghancurkan hidupnya. Dia masih sangat muda, masa depannya masih panjang. Aku harus membuatnya bahagia, dengan caraku sendiri.

Pintu dibuka, rumah begitu sunyi. Lintang melangkahkan kakinya kedalam rumah. Tak ditemukannya yang dicari. Diapun melangkah masuk kekamar, sepi.

"Mas Banyu dimana?", Lintang berteriak-teriak mencari.
Dijelajahinya seluruh rumah, tapi nihil!
Hanya secarik kertas yang dia temukan di atas meja makan.



Lintang Pelitasari, lahir di Jakarta 17 Mei 1980. Aku, Banyu Rahardian. Lahir di Yogyakarta 21 Juli 1977. Aku menikahimu di Jakarta 27 Agustus 2008. Aku memilihmu, karena kamu wanita yang luar biasa bagiku. Lintang, akhirnya aku mengingat semuanya. Aku bersyukur, Tuhan mau mengembalikan ingatanku walau sesaat. Dan disaat Tuhan mengembalikan sesaat ingatan ini, aku harap kamupun tersenyum untukku. Maaf aku harus pergi darimu. Alzheimer ini terlalu cepat merenggut semua memoriku. Semua akan hilang, ingatan masa laluku, ingatan akan kehidupanku, bahkan akupun akan melupakan siapa diriku sebenarnya. Setelah aku menyelesaikan surat ini, akupun yakin bahwa aku pasti sudah lupa akan semuanya. Jadi disaat aku masih mengingatmu, aku harus pergi meninggalkanmu. Aku tak mau pergi disaat aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Satu hal yang harus kamu tahu, meskipun semua ingatanku telah pergi, meskipun nyawakupun telah enggan barada dalam ragaku lagi, tapi cintaku tak akan pernah pergi dari hatimu. Biarkan aku tetap ada dalam ingatanmu, karena aku tak mampu untuk terus menyimpanmu dalam ingatanku lagi. Lintang, aku sangat mencintaimu....

I Love You
Banyu Rahardian



Hanya itu yang aku ingat dalam beberapa menit. Sekarang, tak ada sedikitpun yang aku ingat lagi. Apa yang terjadi? Tak ada satupun yang bisa aku ingat. Kenapa aku? Siapa aku? Kenapa semuanya kosong dalam isi kepalaku?

Semuanya pergi meninggalkan ingatanku. Semuanya melayang, sama seperti tubuh ini yang semakin ringak melayang tinggi jauh meninggalkan alam sadarku.

Siapa aku?
Dimana aku?
Apa yang aku lakukan?

Bila kuingat...Bila sedetik saja aku diberi kesempatan mengingat, aku hanya ingin mengingat cintaku pada Lintang.

One Response to “Bila Kuingat....”

  1. Anonymous says:

    Tulisan yang menarik. Terima kasih sudah berbagi informasi. Jika ingin tahu lebih banyak lagi tentang Cinta dan Romansa, silakan baca artikel Butir-Butir Cinta di blog saya. Salam kenal, sobat.

    Lex dePraxis
    Romantic Renaissance